“Tuan, aku datang ke Kairo khusus untuk belajar dari tuan…”
(Che Guevara, revolusioner komunis, 1960)
Muhmmad bin Abdul Karim al-Khattabi lahir di kota Agadir, Riff Maroko tahun 1301/1883. Ayahnya adalah seorang tetua suku Amazig Barbar bernama Abdul Karim Khattabi. Waktu kecilnya ia habiskan untuk belajar bahasa Arab dan tahfidz Qur`an dari ayahnya sendiri sebelum kemudian ia pergi ke Universitas Qurawiyyin di kota Fez, untuk belajar fikih dan hadits. Tak lama kemudian, Muhammad bin Abdul Karim Khitrabi diangkat menjadi seorang Qadhi al-Qudhat (kepala peradilan) di kota Malilea, Maroko, padahal, saat itu ia masih sangat muda!
Pada saat itu, kondisi Maroko sedang berada dalam keadaan yang sangat sulit karena tekanan bangsa-bangsa Eropa. Para penjajah itu menyadari bahwa Maroko adalah tempat lahirnya banyak pahlawan Islam di sepanjang sejarah. Karena itulah kemudian negri-negri itu bersepakat untuk melenyapkan bibit bencana di kemudian hari.
Akan tetapi, Abdul Karim al-Khattabi dan puteranya tidak tinggal diam, mereka kemudian menyusun kekuatan dengan menyatukan kabilah-kabilah yang tercerai berai dalam satu bendera Islam. Mereka lantas mengangkat senjata dan bertempur mati-matian dengan para penjajah Eropa hingga akhirnya Syekh Abdul Karim Khattabi terbunuh dan puteranya menjadi seorang tawanan disebuah tahanan di sebuah puncak gunung di Maroko.
Setelah beberapa lama dipenjara, Muhammad bin Abdul karim Khattabi keluar dan langsung membentuk barisan tentara yang tersiri dari orang-orang Riff Maroko yang berjumlah 3000 personil. Dengan kecerdasan dan talenta keperwiraannya, ia kemudian menemukan strategi baru dalam berperang, dalam sejarah dunia, ia dianggap sebagai orang yang pertama kali menggunakan strategi itu, inilah yang dikenal dengan nama Harb al-‘Ashâbât (Guerrilla warfare, Perang Gerilya). Taktik ini kemudian mengilhami para revolusioner di dunia, termasuk Ho Cin Minh di Vietnam dan Tuanku Imam Bonjol di Indonesia.
Ketika kerugian yang dialami pasukan Spanyol di Riff semakin bertambah, Raja Spanyol Alfonso XIII mengirimkan sejumlah pasukan lengkap dari Madrid dibawah pimpinan sahabatnya Jenderal Silvestre. Kedua pasukan ini kemudian bertemu di Annual yang bersejarah. Tentara Spanyol yang terorganisir dengan persenjataan lengkap, terdiri dari 60.000 personel lengkap dengan pesawat dan tank-tank bajanya melawan tiga ribu orang Mujahid muslim yang membawa senapan kokang. Dan demikianlah janji Allah untuk memberikan pertolongan kepada kaum beriman, sejarah kemudian membuktikan bahwa 3000 pasukan muslim dibawah pimpinan Muhammad al-Khattabi berhasil mengalahkan 60.000 tentara salib. 18 ribu orang Spanyol terbunuh dan puluhan ribu lainnya tertawan. Tidak ada yang selamat dari kematian atau penawanan kecuali sekitar 600 orang saja yang kemudian lari terbirit kembali ke Spanyol untuk mengadu kepada raja mereka.
Al-Khattabi kemudian mendirikan pemerintahannya di Riff al-Islami di bagian utara Maroko. Dan selama lima tahun pemerintahannya, al-Khattabi mengajarkan agama Islam yang lurus dan bersih dari praktek khurafat dan kebid’ahan yang ketika itu banyak dilakukan para pemuka tasawwuf.
Spanyol yang merasa dendam dan takut akan kebangkitan Islam kemudian membentuk koalisi pasukan dengan beberapa negara lain, sebuah pasukan yang sangat dahsyat, terdiri dari setengah juta tentara dengan berbagai pesawat dan perlengkapan perang lainnya untuk membasmi 20.000 orang mujahid. Dan sungguh mengejutkan! Para mujahid yang sedikit itu lagi-lagi berhasil mengalahkan pasukan salibis dalam setiap episode peperangannya. Mereka berhasil memberikan kerugian demi kerugian di pundak kaum salibis yang kemudian membuat kaum salib menggunakan cara licik, yaitu membeli para pemuka tarekat sufiyah yang bid’ah untuk melakukan pemberontakan dari dalam kepada Amirul Mujahid, Muhammad al-Khattabi.
Mereka kemudian mengeluarkan fatwa haram untuk ikut berperang dengan al-Khattabi, hingga akhirnya hanya tersisa 200 orang saja yang masih setia mengikuti al-Khattabi. Setelah itu, pesawat-pesawat perancis dan Spanyol gencar menjatuhi wilayah kaum muslimin dengan senjata-senjata kimia dan gas-gas beracun terhadap penduduk sipil. Pada saat yang sama, angkatan laut Inggris mengepung pantai-pantai maroko. Dengan demikian, al-Khattabi harus berjuang keras melawan para pengkhianat dari kaum sufi dan para penjahat dari kaum salib. Bertempurlah mereka yang hanya segelintir itu bagikan singa-singa yang terluka hingga membuat kaum salibis merasa putus asa untuk menaklukkannya. Mereka kemudian kembali menggunakan cara kuno yang sagat licik. Kaum salibis itu meminta perjanjian damai kepada al-Khattabi dengan memberikan jaminan kepada kaum muslimin akan keselamatan semua mujahid dan memberikan kehidupan yang aman, tentram dan penuh kemerdekaan bagi seluruh penduduk Maroko.
Dan seperti biasa, kaum salibis kemudian mengingkari perjanjian mereka dengan menculik Amirul Mujahidin al-Khattabi dan membuangnya di sebuah pulau antah berantah di Samudera Hindia. Mereka membuangnya bukan untuk satu atau dua tahun, akan tetapi mereka membuangnya selama dua puluh tahun tanpa terputus. Pahlawan Islam ini menghabiskan waktu 20 tahunnya dalam pengasingan bangsa pengusung hak asasi manusia, bangsa yang meneriakkan slogan: liberte, egalite dan fraternite (kebebasan, persamaan dan persaudaraan)!